Tolak Sutiyoso - Save RI - Sadarkan Jokowi - Publik Kecewa Jokowi Pilih Bang Yos - D#tolaksutiyoso #saveRI #sadarkanjokowi
"Mayoritas penolakan berasal dari politisi, aktivis LSM, mahasiswa."
- Keputusan Presiden Joko Widodo memilih Ketua Umum Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia, Sutiyoso, sebagai Ketua Badan Intelijen Negara menuai berbagai kritikan dari masyarakat.
Dalam statistik media monitoring yang dilakukan oleh Indonesia Intelligence Institute (I3), ada 44% pendapat yang bernada menolak (unfavorable), 38% mendukung (favorable) dan 18% netral (neutral) atas penunjukan Sutiyoso sebagai Kepala BIN.
“Kami melakukan media monitoring baik cetak, online, maupun televisi, sejak nama Sutiyoso resmi diajukan ke DPR hingga hari Senin 15 Juni 2015. Sentimen negatif lebih besar,” ujar koordinator eksekutif Indonesia Intelligence Institute, Ridlwan Habib, di Jakarta, Selasa 16 Juni 2015.
Menurutnya, ada empat isu utama yang menjadi dasar penolakan masyarakat yang disematkan kepada Sutiyoso yakni masalah Usia, Kapasitas, Politik (berlatar belakang politik) dan HAM. “Mayoritas penolakan berasal dari para politisi, aktivis lsm, mahasiswa dan para akademisi,” ujar Ridlwan.
Secara umum, statistik menunjukkan bahwa banyak masyarakat yang merasa kecewa dengan keputusan penunjukan Sutiyoso sebagai kepala BIN. Meski intelijen adalah habitat Bang Yos selama berada di satuan Sandi Yudha Kopassus. Akan tetapi, setelah sekian lama (kurang lebih delapan tahun tidak aktif dalam struktur pemerintahan), Sutiyoso dianggap sudah tidak lagi mengikuti dinamika intelijen terkini.
“Jabatan terakhir Bang Yos adalah Gubernur DKI, sejak itu Bang Yos adalah politisi yang berada di luar sistem,” ujar alumni S2 Kajian Stratejik Intelijen UI tersebut.
Menurut hasil media monitoring I-3, mayoritas aktivis berpendapat penunjukan Sutiyoso sebagai kepala BIN juga mengingatkan kita pada rezim Orde Baru yang melakukan militerisasi intelijen.
Yang kedua adalah menunjukkan keterlibatan orang-orang terdekat presiden tanpa melihat kapabilitas dan profesionalisme individu yang diberi tanggungjawab untuk memimpin institusi intelijen, apalagi Sutiyoso berlatar belakang partai politik. Ketiga, penunjukan Sutiyoso hanya merupakan politik balas jasa yang dilakukan presiden pasca memenangkan pemilu.
“Publik belum bisa menerima alasan Presiden Jokowi bahwa Bang Yos punya pengalaman intelijen. Publik merasa, karena Bang Yos berjuang memenangkan Jokowi, maka dia yang dipilih,” kata Ridlwan.
Jika tren penolakan itu menguat, lanjutnya, DPR bisa memberikan pertimbangan lain pada Presiden. Walaupun, penunjukan Kepala BIN tidak memerlukan persetujuan parlemen.
“Presiden Jokowi perlu kondisi politik yang stabil di satu tahun pemerintahannya, jika legitimasi Sutiyoso tidak kuat maka yang terjadi akan sebaliknya. Presiden semakin lemah dukungan politiknya,” katanya.
Sutiyoso, lanjutnya, harus menjawab ketidakpercayaan publik itu sebelum fit and proper test dilakukan. “Misalnya, apakah Sutiyoso setuju BIN diawasi publik? Apakah Sutiyoso setuju BIN melatih agen-agennya dengan pendidikan HAM? Apakah Sutiyoso mau mendengar kalangan kampus?“ kata Ridlwan.
“Usia seseorang tetap berpengaruh secara fisik. Publik perlu tahu, seberapa bugar sebenarnya Sutiyoso? Apa olahraganya? Apakah pernah punya riwayat penyakit? Itu harus dibuka dalam fit and proper test DPR.” (one)